Saturday, September 16, 2006

(R)UU Prosedur Administrasi Negara

PNS Tak Lagi Patuh Pada Pemerintah Sudah waktunya Indonesia menegaskan aturan tentang pemisahan antara negara dan pemerintahan. Selama ini, batasan antara negara dan pemerintahan masih rancu. Sekadar contoh, dalam UUD 1945, pasal 33, menyebutkan; “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.” Namun siapa yang tahu kalau presiden tidak mengeluarkan uang sepeserpun bagi fakir miskin dan anak terlantar dengan alasan kas negara sedang kosong? Kalau presidennya nakal, bisa jadi pada tahun kesatu sampai ketiga masa jabatannya sama sekali tidak merogoh kas negara untuk fakir miskin dan anak terlantar. Bisa jadi dia baru mengeluarkan dananya pada tahun keempat dan kelima. Dengan demikian, pada tahun keenam dia bisa terpilih kembali menjadi presiden. Prasangka buruk ini terlontar dalam sebuah forum diskusi yang menyoal tentang pemisahan antara negara dan pemerintahan di Hotel Elmi Surabaya, Senin malam (15/8). Pemerintah, dalam hal ini, sebenarnya tidak diam saja. Pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara telah melakukan studi banding ke beberapa negara maju di Eropa demi membikin Undang-undang (UU) yang mengatur tentang pemisahan antara negara dan pemerintahan. Kemudian agaknya pemerintah lebih srek dengan UU-nya Negara Jerman. Maka dijiplaklah UU Prosedur Administrasi Negara dari negaranya Adolf Hitler itu. Hasil jiplakannya menjadi draft (Rancangan Undang-undang/ RUU) yang sampai hari ini masih menunggu giliran untuk dibahas di DPR RI. Tentang seperti apa isi RUU atau draft UU Prosedur Administrasi Negara hasil jiplakan ini, tak banyak orang tahu. Barangkali karena itu RUU yang nantinya akan sangat penting bagi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara ini (hampir saja) luput dari perhatian publik. “Saya berlangganan lima koran tiap hari dan tidak pernah membaca kalau ada UU Prosedur Administrasai Negara,” ujar Esti Susanti, seorang aktivis dari salah satu LSM di Surabaya. “Saya baru tahu kalau UU itu ada ya dari forum ini. Andai saya tidak datang, maka saya tidak akan pernah tahu,” imbuhnya seraya mengaku bingung mengikuti jalannya diskusi karena memang tidak pernah membaca draft UU ini. Adalah Pipit Kartawajiya, seorang aktivis Indonesia yang lebih dari 30 tahun tinggal dan bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Jerman yang melempar isu ini untuk yang pertama kalinya. Dialah pemrakarsa forum diskusi yang juga menghadirkan praktisi hukum dari Untag Surabaya, Soetanto Sopiady, dan budayawan, Emha Ainun Nadjib, sebagai pembicara di Hotel Elmi pada pertengahan Agustus lalu itu.. Dan tampaknya bukan cuma Esti Susanti saja yang bingung. Puluhan peserta lainnya yang datang pada malam itu juga terlihat kebingungan mengikuti jalannya diskusi karena Pipit tidak mengkopi draft UU yang dimaksud untuk para hadirin. Pipit cuma membeberkan draft itu lewat LCD yang gambarnya (huruf-huruf yang tertuang dalam draft UU Prosedur Administasi Negara dari komputernya Pipit) terlihat kecil dari meja peserta dan sama sekali tak terbaca. Sementara Pipit yang juga akan menggelar diskusi serupa di beberapa kota lain di Indonesia, mengaku tidak gampang memperoleh draft UU Prosedur Administrasi Negara ini. Kendati akhirnya ia menemukannya di internet, itu pun tidak dilaluinya dengan cara browsing yang mudah. Pipit merasa perlu menggelar diskusi ini sebab ia paham betul dengan draft UU Prosedur Administrasi Negara hasil jiplakan dari negara tempatnya bekerja. Maklum, sebagai PNS di Jerman, dia dituntut mematuhi UU ini. “UU Prosedur Administrasi Negara ini di Jerman dibikin pada tahun 1976 dan khusus dibikin bagi mereka yang bekerja sebagai abdi negara seperti PNS,” katanya. Lewat diskusi ini, Pipit cuma ingin mengingatkan (kepada penjiplaklnya di Indonesia) bahwa di Jerman UU ini bisa berjalan dengan baik karena ditunjang oleh perangkat pendukung lainnya. Pipit mencontohkan, peraturan tentang PNS di Jerman hanya mengharuskan mereka untuk patuh kepada negara, bukan pemerintah. Sementara peraturan tentang PNS di Indonesia selama ini mengharuskan untuk patuh kepada pemerintah. “Dari berbagai peraturan tentang PNS baik di Jerman maupun di Indonesia sama-sama menyebutkan harus patuh kepada atasan. Tapi peraturan tentang PNS di Jerman lebih mengkhususkan lagi untuk tunduk kepada negara, bukan pemerintah. Artinya, seorang atasan di Jerman jika dalam melaksanakan tugasnya menyimpang dari UU, PNS di sana wajib untuk tidak mematuhinya.,” jelasnya. Dari contoh tadi, Pipit menghimbau, jika pemerintah Indonesia akan menerapkan UU Prosedur Administrasi Negara yang dijiplak dari Jerman, maka ada banyak perangkat pendukung lainnya pula yang harus dirubah. Salah satunya tentang peraturan kesetiaan PNS yang tidak lagi terhadap pemerintah. Selain itu, Pipit menambahkan, beberapa materi dalam pasal-pasal Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) juga harus dirubah, menyesuaikan dengan isi (R)UU Prosedur Administrasi Negara. “Petunjuk teknis tiap UU juga harus terdefinisikan. Selama ini, di Indonesia, petunjuk teknis tiap UU selalu dirahasiakan. Di Jerman, petunjuk teknis ini dibagikan, tiap orang dapat satu-persatu,” tuturnya. Masih tentang UU Prosedur Administrasi Negara, Pipit kembali mencontohkan, di Jerman ada lembaga yang bernama Dewan Personal yang dipilih dari beberapa PNS (perwakilan). Tugasnya untuk melindungi PNS yang terkena masalah. “Jika ada PNS melakukan bantahan dan tidak digubris, maka Dewan Personal inilah yang turun tangan. Pemecatan PNS di Jerman tidak sewenang-wenang karena ada Dewan Personal ini. Dewan Personal juga berfungsi untuk mengesahkan UU. Jadi, UU di Jerman baru bisa sah jika disetujui Dewan personal,” terangnya. Namun yang terpenting, bagi Pipit, adalah adanya Netralitas Negara. “Netralitas Negara di Jerman menganut keadilan sosial. Semisal PNS di sana tidak boleh menunjukkan symbol-simbol. Semacam tidak boleh mengenakan symbol partai apapun. Bahkan PNS di Jerman yang beragama islam tidak diperkenankan mengucapkan assalamualaikum. Mereka juga tidak boleh memakai jilbab (yang ini juga berlaku bagi mereka yang bersekolah di sekolah negeri). Jadi, abdi negara di Jerman harus benar-benar netral. Mereka baru diperbolehkan menunjukkan symbol-simbol hanya ketika sedang di luar pekerjaannya,” paparnya. Di Indonesia, lanjut Pipit, tidak harus menerapkan perangkat pendukung seketat itu. “Bisa menerapkan tiga hal (dari sekian banyak yang dicontohkan di atas) saja sudah cukup membantu untuk membentuk pemerintahan yang baik,” tandasnya. (nif)

No comments: